Kisah 1001 Malam (Seribu Satu Malam) adalah sastra epik dari Timur Tengah yang lahir pada Abad Pertengahan. Kumpulan cerita ini mengisahkan tentang seorang ratu Sassanid, Scheherazade yang menceritakan serantai kisah-kisah yang menarik pada sang suami, Raja Shahryar, untuk menunda hukuman mati atas dirinya.
Kisah-kisah diceritakan setiap malam dalam waktu seribu satu malam.
Scheherezade mengakhiri kisahnya dengan akhir yang menegangkan dan menggantung. Sehingga, sang raja dibuat tertarik dan penasaran untuk mendengar kelanjutan kisah dari sang ratu. Setiap kisah yang diceritakan ratu mampu menarik perhatian raja. Sang raja pun selalu menangguhkan perintah hukuman mati bagi Scheherazade.
Kisah Seribu Satu Malam terdiri dari kumpulan-kumpulan kisah dengan tokoh yang berbeda dan alur cerita yang menarik. Di dalamnya termasuk legenda, fabel, roman, dan dongeng dengan latar yang berbeda seperti Baghdad, Basrah, Kairo, dan Damaskus juga ke Cina, Yunani, India, Afrika Utara dan Turki.
Kisah-kisah dalam Seribu Satu Malam (1001 Malam), seperti Scheherezade dan Shahryar, Sinbad si Pelaut dan Aladdin menekankan tiga hal pada pembaca yaitu:
“Suatu masalah akan selalu ada penyelesaiannya”
“Keteguhan akan membuat suatu masalah mencapai penyelesaiannya”
“Kekuatan batin dapat membantu untuk mempertahankan keteguhan”
Pada abad ke-8, masa pemerintahan khalifah Abbasiyah Harun Ar-Rasyid, Baghdad merupakan salah satu kota perdagangan yang sangat penting. Pedagang dari China, India, Afrika, dan Eropa singgah dapat ditemukan disana. Ketika inilah cerita-cerita tradisional dari berbagai bangsa dikumpulkan jadi satu dan dinamakan Hazar Afsanah (Seribu Legenda).
Bentuk modern pertama dari cerita Seribu Satu Malam, namun masih dalam bahasa Arab, diterbitkan di Kairo pada tahun 1835. Konon, pada era itulah cikal-bakal Hikayat 1001 Malam mulai dirajut. Masterpieces seni cerita bertutur itu berasal dari sebuah buku dari Persia yang hilang berjudul Hazar Afsanah (Seribu Legenda).
Suatu ketika Raja Harun Ar-Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Raja. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu member penjelasan yang memuaskan Raja. Padahal Raja sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.
Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Raja menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama kemudian Abu Nawas dihadapkan.
Raja mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.
“Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?” Tanya Abu Nawas ingin tahu.
“Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku” kata Raja Harun Ar-Rasyid.
“Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba.”
“Yang pertama, dimanakah sebenarnya batas Jagat Raya ciptaan Tuhan?” Tanya Baginda.
Abu Nawas menjawab, “Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia”. Dia menjawab tanpa keraguan sedikit pun.
“Tuanku yang mulia”, lanjut Abu Nawas menjelaskan, “ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu dimana batas Jagat Raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas.”
Baginda Raja mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
“Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya: bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?”
Abu Nawas menjawab dengan tangkas, “Ikan-ikan di laut.”
“Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?” Tanya Raja heran.
“Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah yang besar, tetapi jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” Jawab Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Ar-Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.